YLKI: Pajak Warteg Berpotensi Timbulkan ‘Gayus-Gayus Kecil’
Source : Detik Finance
Jakarta – Wacana diberlakukannya penarikan pajak bagi para pengusaha warteg dinilai berpotensi menimbulkan Gayus-Gayus kecil ke depannya. Pasalnya, dari banyaknya warteg yang tersebar saat ini, beberapa diantaranya bisa terjadi penggelapan pajak.
Demikian disampaikan oleh Tulus Abadi, selaku dewan anggota harian YLKI, pada acara diskusi di Cikini, Jakarta (11/12/2010).
“Warteg adalah usaha mikro yang seharusnya diberikan insentif-insentif oleh pemerintah, bukan diberikan pajak yang kemudian saya khawatir akan menimbulkan Gayus-gayus kecil dalam transaksi pemungutan pajak antara yang dipungut dengan oknum-oknum pemungut pajak,” jelas Tulus.
Tulus mengatakan, di dalam manajemen warteg, cashflow antara uang masuk dan uang keluarnya tidak terbukukan, tidak terakunting, dan sebagainya. Akibatnya, akan sulit mendeteksi pendapatannya.
“Bagaimana bisa mendeteksi pendapatannya dalam satu hari. Kalau pemerintah mengatakan omsetnya Rp 160.000 perhari parameternya apa? Sehingga itu jadi sangat beresiko kalau diterapkan secara prosedural pajak,” kata Tulus.
Tulus melanjutkan, pajak sebesar 10% memberatkan konsumen karena jumlahnya sangat tinggi dan tentu pengusaha warteg tidak akan menanggungnya sendiri pasti akan dibagi rata kepada konsumen dengan menaikkan harga.
“Kalau mau makan di warteg itu, misal Rp 10.000 akan dinaikkan menjadi Rp 11.000, karena tambahan untuk bayar pajak,” imbuh Tulus.
”Mengapa warteg-warteg kecil itu tidak layak, karena orang makan di warteg itu adalah orang yang ingin memenuhi rasa lapar dan bertahan agar tidak mati kelaparan. Itu tidak layak diberikan pajak kecuali kita makan direstoran ini. Ketika makan direstoran bergengsi makan untuk mencari gengsi, mencari trademark, dan sebagainya. Sehingga, layak untuk diberi pajak. Tapi kalau di warteg itu tidak etis diberikan pajak.” tegas Tulus.
Seperti diketahui, pemberlakuan pajak bagi pengusaha Warteg sempat mencuat di permukaan media. Hal ini direncanakan oleh Pemprov DKI yang ingin menetapkan pajak PPh warung atau tempat usaha yang dimiliki oleh setiap wajib pajak mulai dari usaha rumahan hingga ke Mall. (Berdasarkan ketentuan pasal 25 UU PPh No. 36 tahun 2008 dari Direktorat Pajak).
Namun gubernur DKI Jakarta menunda peenerapan pajak tersebut (sebesar 10%). Dengan pertimbangan efek sosial dan ekonomi jika keputusan tersebut diberlakukan.
”Saya kira saya tidak tahu batas regulasi yang sekarang. Saya kira Foke jika berpihak kepada masyarakat menengah kebawah harusnya langusng membatalkan dan kemudian setidaknya melakukan moratorium). Sampai kemudian terbentuk suatu sistem yang bisa dibentuk oleh warteg tadi.” tambahnya.
Tulus menambahkan sekali lagi, memang ada warteg-warteg yang pendapatan besar, tapi jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah warteg yang kecil.