You are here: Home > Uncategorized > KEPUTUSANKU

KEPUTUSANKU

Sebenarnya tidak ada yang berhak mengatur hidup kita, siapapun itu.
Sebenarnya tidak ada yang pantas disalahkan atas kegagalan kita selain diri sendiri.
Semua yang kita jalani adalah pilihan kita sendiri, sekalipun diarahkan orang lain

Aku tidak pernah mengerti kenapa banyak orang yang ingin mengatur hidupku. Ingin aku beginilah, begitulah, ga boleh beginilah, ga boleh begitulah. Tapi kasihan mereka, pribadi sebagai orang koleris membuatku terlalu keras kepala. Tak ada satu katapun yang bisa menaklukkanku.

“Untuk apa menulis cerita tidak berguna seperti ini!!!” kata seorang wanita. Aku hanya diam, masih asyik dengan pekerjaanku. Wajah wanita itu berubah kecut.

“An, kalau kerjaanmu cuma bikin cerita-cerita itu saja, kapan belajarnya?” keluhnya lagi.

“Mama cerewet banget sih. Suka-suka aku dong. Tenang aja, nilai Anita ngga bakalan jelek kog. Mama liat aja nanti.” sahutku.
***

Sayang sekali ucapanku kemarin tidak terbukti. Ada angka empat besar untuk ulangan fisikaku. Aku menarik nafas kecewa yang sangat dalam. Bagaimana ini, aku ngga kebayang dapat hasil yang terlalu memuaskan seperti ini.

Sesampainya di rumah aku hanya diam. Aib nilai empat ini aku sembunyikan rapat-rapat agar tidak ada yang melihatnya. setelah semuanya beres aku bisa tersenyum lagi. oh indahnya dunia… Dengan perasaan seratus persen aman aku tinggalkan benda itu di tempat persembunyiannya sendirian.

Lalu Aku bermain dengan tenang, bersepeda dengan santai, bergurau dengan antusias. Karena luasnya kebun di belakang rumah, aku bisa melakukan apa saja seleluasa mungkin. Kalau sudah sampai di sini kicauan burung dan sejuknya rumput membuatku lupa segalanya.

Tapi itu tidak berlangsung lama. Dalam selang waktu yang tidak aku sadari tiba-tiba ibu tergopoh-gopoh ke arahku. Wajahnya cemberut, agak memerah. Matanya tajam, seperti mau memanah. Aku masih santai mengayuh sepeda, berputar-putar di sekeliling pohon pinus. Adikku yang sejak tadi bersamaku entah kenapa tiba-tiba menghilang. Tapi itu tidak menyurutkan keinginanku untuk tetap berputar-putar selayaknya sepeda putar. Aku baru berhenti ketika ibu berdiri di hadapanku sambil mengibarkan hasil ulanganku yang bertuliskan angka empat besar.

“Ibu sudah bilang, beginilah akibatnya kalau kamu kebanyakan menghayal dan nulis cerpen. Kamu pikir itu semua bagus. Kamu harus jadi orang dulu, BELAJAR YANG RAJIN!” bentaknya. Wajah ibu semerah kepiting rebus, matanya menatap garang tepat ke dalam kedua pupil mataku. Aku hanya diam. Malas mendengarkan.

“JANGAN DIAM AJA.”

“Iya,,, maaf bu, Anita akan berusaha lagi.” kataku memelas. Dalam hati,” Sialan, darimana dia tahu tempat aku menyembunyikannya.

“Maaf Maaf!!! Sejak kamu sering menghayal dan nulis aneh-aneh kamu ngga pernah konsentrasi belajar. Kerjamu ibu lihat cuma bikin cerita-cerita ngga berguna. Sekarang begini hasilnya. Apa ini! Belum pernah kamu dapat nilai separah ini!” omel ibu sambil menunjuk-nunjuk kertas ulanganku.

Aku hanya diam, pura-pura mendengarkan.

“Pokoknya kau harus perbaiki ini! Kalau engga, ibu bakar semua cerita-cerita ngga bergunamu itu!”

Kali ini aku kaget. Ini ancaman besar!

“Ibu sudah ambil semua ceritamu, kalau minggu depan kamu ngga berubah, akan ibu bakar semuanya!”

“Iya bu. Anita menyesal..” sahutku segera. Gimana engga, dia menyandera semua hartaku yang berharga.

“Ingat, ibu mau lihat hasil ulanganmu minggu depan!” ancamnya. Dia langsung pergi, meninggalkanku sendirian dengan perasaan hancur. Karya-karyaku yang berharga, sungguh kasihan mereka.

Terkadang kita dihadapkan pada pilihan
Kata orang, pilihlah dengan hati nurani
Kataku, pilihlah dengan hati dan pikiranmu.

Dengan disanderanya semua karya ciptaku yang berharga (seenggaknya untukku) aku terpaksa memeras otak untuk mendapatkannya kembali. Bermacam-macam tak-tik bermunculan di kepalaku, mulai dari mengacak-acak kamar ibuku untuk membebaskan mereka, memelas-melas agar ibu mengembalikannya, sampai menghasut adikku untuk mencari tahu dimana benda itu disimpan. Tapi apa dayaku, semuanya gagal. Keputusan ibuku seperti karang yang tak dapat diruntuhkan.

Sudah dua hari berlalu dan aku tidak mendapatkan tanda-tanda apa yang aku cari. Aku tiduran di kamar sambil memandang langit-langit berwarna putih. Sejak kehilangan mereka semua aku juga kehilangan mood untuk menulis, apalagi belajar. Aku memutar badan menghadap tembok sambil meraih bantal untuk dipeluk. Saat itulah ada seseorang membuka kamar tidurku. Aku tidak melirik, pura-pura tidur.

“An, ayah tahu kamu sedang tidak tidur.” kata seseorang lembut. Aku berbalik. Ayah duduk di sampingku.

“Kenapa yah?”

“Kamu lagi berantem apa sama ibumu? Kelihatannya akhir-akhir ini tampang Ibumu kusut terus.”

“hah… males yah.” kataku sambil menghadap tembok lagi. “Ibu ngga suka aku nulis. Kemarin ulangan fisikaku dapet empat. Itu dijadiin alasan buat ngambil semua cerpenku. Kesel!”

“Sudahlah…” kata ayah sambil membelai rambutku. “Ibu cuma pengen kamu rajin belajar. Itu aja kok.”

“Tapi jangan gitu caranya dong. Setiap orang punya hak azasi buat melakukan apa yang disukai. Anita suka nulis. Lagian temen-temen di sekolah banyak yang suka cerpenku kog Yah. Apa salahnya?”

“Tapi nilaimu terganggu karena itu.” jawabnya. Aku menoleh. Ayah berhenti membelai rambutku. “Ibumu itu dulu susah payah biar bisa masuk sekolah. Dia membiayai sendiri sekolahnya, nyari beasiswa sekaligus kerja sambilan. Sekolah itu kesempatanmu saat ini dan kamu cuma bisa belajar sekarang. Makanya ibumu sangat kesal kalau kau tidak serius dengan sekolahmu.”

“AKU SERIUS!!” sahutku.

“Tapi sikapmu itu sikap orang yang tidak serius. Setiap hari melamun dan menulis saja, lupa dengan pelajaranmu di sekolah. Ibumu kecewa sekali.”

Aku diam, tak punya pembelaan.

“Kau harus belajar mana yang penting dan mana yang bukan. Jangan sia-siakan usaha kami, terutama ibumu. Hentikan dulu kegiatan-kegiatan yang tidak perlu. Perbaiki nilaimu dulu.”

Aku masih diam

“Pikirkanlah itu. Sekolahmu itu masa depanmu.”

Ayah beranjak, meninggalkan kamar. Sedang aku masih terdiam, memikirkan sesuatu.
***

Aku mulai rajin belajar lagi. Aku tidak menggerutu ataupun mengeluhkan apapun lagi. Termasuk soal cerpenku yang disita. Setiap pagi kerjaku cuma bangun tidur, mandi, belajar sebentar, bersiap ke sekolah, masuk sekolah, pulang, makan, les, bikin PR, belajar, tidur. Semua orang rumah heran, aku juga.

Mataku mulai mengantuk. Suara ribut televisi sudah tidak terdengar. Kulirik jam weker di meja, jam sepuluh malam. Pantas saja. Buku-buku di meja langsung kurapikan.

Derit pintu memecah kesunyian kamar. Aku menoleh kaget. Ternyata ibu.

“Belom tidur.” tanyanya

“Baru mau tidur. Kenapa? Tumben-tumbenan ibu inget aku.”

“Emangnya ibu ngga boleh nanyain anaknya?” ucapnya tersinggung. Dia meletakkan setumpuk kertas di atas mejaku.

Aku kaget. Coretan-coretan dalam kertas itu amat kukenal.

“Ibu lihat kau sudah rajin belajar sekarang. jadi ibu kembalikan. Awas aja kalau melamun seperti kemarin lagi.” katanya angkuh. Ibu berbalik dan pergi.

Aku tidak tahu bagaimana mengutarakan yang aku rasakan sekarang. Aku ambil semua kertas itu. Aku rindu coretan-coretan jelek tanganku itu. Coretan-coretan mirip ceker ayam itu aku pandangi sesaat. Di waktu lain aku segera membuka lemari dan mencari-cari kotak yang aku sembunyikan tepat di sudut. Di sana aku simpan semua coretan baru setelah yang lama menghilang. Dan kini mereka berteriak-teriak melihat seniornya kembali.

Mungkin ibu ingin aku jadi anak jenius akademik, namun aku tidak akan bisa melupakan kecintaanku menulis. Rasa bahagia ketika menuliskan kata demi kata meresap begitu dalam. Dan tidak akan kutinggalkan.

by : cerpen kita

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Leave a Reply

You must be logged in to post a comment.